Selasa, 15 November 2011

ASKEP PADA ANAK DENGAN CONGENITAL DISLOCATION OF HIP

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Beberapa anak yang lahir dengan masalah pinggul disebut dislokasi pinggul bawaan (displasia). Kondisi ini biasanya didiagnosis segera setelah bayi lahir.Sebagian besar waktu, hal itu mempengaruhi pinggul kiri pada anak pertama lahir, perempuan, dan bayi lahir dalam posisi sungsang.
Bagian atas tulang paha (femur) berbentuk seperti bola dan cocok ke dalam cangkir pencocokan (acetabulum) pada sisi luar panggul. Berbagai masalah dapat mempengaruhi pinggul bayi karena berkembang. Terkadang bola tidak terletak dengan aman dalam soket dan dipindahkan dari itu: ini adalah apa yang dimaksud dengan dislokasi. Kadang-kadang, meskipun bola dalam soket, dapat menyelinap masuk dan keluar dari tempatnya. Ini adalah apa yang dimaksud dengan pinggul yang dislocatable. Kadang-kadang meskipun pinggul yang dalam soket tidak mendalam di tempat dan kita sebut pinggul ini 'subluxated'. Akhirnya, pada beberapa anak meskipun pinggul yang di tempat yang tepat soket tidak tumbuh dengan baik dan terlalu dangkal. Jika soket pinggul dangkal ini memungkinkan bola untuk bergerak dari posisi seharusnya menempati. 1 sampai 2 dalam 1.000 bayi yang lahir mungkin memiliki pinggul yang terkilir saat lahir. Sebuah kelompok yang sedikit lebih besar dari anak-anak memiliki pinggul yang tidak aman dalam soket atau soket adalah dangkal dari yang seharusnya. Secara umum, anak perempuan lebih mungkin akan terpengaruh dibandingkan anak laki-laki. Pinggul kiri lebih sering terkena daripada sisi kanan.
1.2  TUJUAN
1.      Menjelaskan pengertian Congenital dislocatoin of hip
2.      Menjelaskan etologi Congenital dislocatoin of hip
3.      Menjelaskan patologi Congenital dislocatoin of hip
4.      Menjelaskan manifestasi klinis Congenital dislocatoin of hip
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1  Pengertian
Congenital dislocatoin of hip atau biasa disebut pergeseran sendi atau tulang semenjak lahir. Suatu bentuk kelainan pada persendian yang ditemukan pada bayi baru lahir.Congenital dislocatoin of hip terjadi dengan kejadian 1,5 per 1.000 kelahiran dan lebih umum terjadi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki.penyebab hal ini belum diketahui tapi diduga melibatkan faktor genetik.
Kelainan ini sering dijumpai pada:
• Anak pertama
• Bayi perempuan
• Riwayat dislokasi pada keluarga.
• Bayi dalam letak bokong
kriteria untuk mengetahui diagnosis congenital dislocation dapat dilakukan dengan secara fisik dan radiografi.tanda-tanda klinis tertentu telah diidentifikasi yang membantu dalam mengevaluasi bayi yang baru lahir.diantaranya:
• pinggul tertekuk, karena shortening dan kontraksi adductors hip
• peningkatan kedalaman atau asimetri dari inguinalis atau lipatan paha;
• pemendekan satu kaki;
• posisi bawah lutut sisi terpengaruh ketika lutut dan pinggul yang tertekuk, karena lokasi femoralis posterior kepala untuk acetabulum dalam posisi ini;
• Barlow's test ("bunyi yang keluar" atau dislokasi sign);
• telescoping atau tindakan pistoning paha, karena kurangnya penahanan kepala femoralis dengan acetabulum;
• Trendelenburg - drop pinggul normal ketika anak berdiri pada kedua kaki, mengangkat tungkai dan dikenakan berat pada sisi yang terkena.

2.2. Etiologi
Dislokasi terjadi saat ligarnen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normnal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).
congenital dislocation of hip biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang sedemikian rupa karena cacat bawaan.
Kebanyakan bayi yang lahir dengan Congenital dislocatoin of hip memiliki orang tua yang jelas-jelas tidak memiliki gangguan kesehatan maupun faktor resiko. Seorang wanita hamil yang telah mengikuti semua nasihat dokternya agar kelak melahirkan bayi yang sehat, mungkin saja nanti melahirkan bayi yang memilii kelainan bawaan. 60% kasus kelainan bawaan penyebabnya tidak diketahui; sisanya disebabkan oleh faktor lingkungan atau genetik atau kombinasi dari keduanya.
• Teratogenik
Teratogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa menyebabkan atau meningkatkan resiko suatu kelainan bawaan.Radiasi, obat tertentu dan racun merupakan teratogen.
• Gizi
Menjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari teratogen, tetapi juga dengan mengkonsumsi gizi yang baik.Salah satu zat yang penting untuk pertumbuhan janin adalah asam folat. Kekurangan asam folat bisa meningkatkan resiko terjadinya spina bifida atau kelainan tabung saraf lainnya. Karena spina bifida bisa terjadi sebelum seorang wanita menyadari bahwa dia hamil, maka setiap wanita usia subur sebaiknya mengkonsumsi asam folat minimal sebanyak 400 mikrogram/hari.


• Faktor fisik pada rahim
Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga merupakan pelindung terhadap cedera. Jumlah cairan ketuban yang abnormal bisa menyebabkan atau menunjukkan adanya kelainan bawaan.
• Faktor genetik dan kromosom
Genetik memegang peran penting dalam beberapa kelainan bawaan. Beberapa kelainan bawaan merupakan penyakit keturunan yang diwariskan melalui gen yang abnormal dari salah satu atau kedua orang tua.Gen adalah pembawa sifat individu yang terdapat di dalam kromosom setiap sel di dalam tubuh manusia. Jika 1 gen hilang atau cacat, bisa terjadi kelainan bawaan.
 Informasi yang diperoleh dari ortopedi Radiologi oleh Adam Greenspan tentang Congenital dislocatoin of hip tentang pergeseran pada panggul adalah:
a) Y-line adalah garis yang ditarik melalui bagian superior dari tulang rawan triradiate. Pada bayi normal, jarak yang diwakili oleh baris (ab) tegak lurus garis-Y pada titik paling proksimal leher femoralis harus sama di kedua sisi panggul, sebagaimana seharusnya jarak diwakili oleh garis (bc) ditarik bertepatan dengan garis-Y medial ke lantai acetabular. Pada bayi usia enam sampai tujuh bulan, nilai rata-rata untuk jarak (ab) menjadi 19,3 mm + / - 1,5 mm; untuk jarak (bc), 18,2 mm + / - 1,4 mm. Indeks acetabular adalah sudut yang dibentuk oleh garis singgung ditarik ke atap acetabular dari titik (c) di lantai acetabular pada garis-Y. Nilai normal dari sudut ini berkisar antara 25 derajat hingga 29 derajat. Garis Shenton-Menard adalah busur berjalan melalui aspek medial leher femoralis di perbatasan unggul foramen obturatorius.. Harus halus dan tak terputus.


b) Garis Perkins-Ombredanne ditarik tegak lurus dengan garis-Y, melalui tepi paling lateral acetabular tulang rawan kaku, yang benar-benar sesuai dengan spina iliaka anteroinferior pada bayi baru lahir normal dan bayi, aspek medial femur atau leher kaku modal femoral epiphysis jatuh di dalam kuadran yang lebih rendah. Munculnya salah satu dari struktur di kuadran luar atau lebih rendah menunjukkan subluksasi atau dislokasi pinggul.
c) The Rosen von Andren-line,, yang diperoleh dengan setidaknya 45 derajat dari pinggul dan rotasi internal, digambarkan sepanjang sumbu longitudinal batang femoralis. Dalam pinggul normal, memotong panggul di tepi atas acetabulum tersebut.
d) Dalam subluksasi atau dislokasi pinggul, baris membagi-dua atau jatuh di atas tulang belakang anteorsuperior iliaka.

2.3 Anatomi
Dalam dislokasi pinggul, bola di bagian atas tulang paha (kepala femoral) tidak duduk aman di soket (acetabulum) dari sendi pinggul. Ligamen di sekitarnya juga mungkin longgar dan menggeliat. Bola mungkin kendur dalam soket atau benar-benar di luar itu.
2.4 Patofisiologi
Dysplasia perkembangan pinggul (developmental dysplasia of the hip, DDH),atau congenital dislocation of the hip, merupakan ketidaknormalan perkembangan antara kaput femur dan asetabulum. Pinggul merupakan suatu bonggol (kaput femur) dan mangkuk (asetabulum) sendi yang memberikan gerakan dan stabilitas pinggul. Terdapat tiga pola dalam CDH :
1.      Dysplasia asetabular (perkembangan tidak normal )- keterlambatan dalam perkembangan asetabulum sehingga lebih dangkal dari normal, kaput femur tetap dalam asetabulum ;
2.      Subluksasi – dislokasi pinggul yang tidak normal ; kaput femur tidak sepenuhnya keluar dari asetabulum dan dapat berdislokasi secara parsial ; dan
3.      Dislokasi – pinggul berada pada posisi dislokasi, dan kaput femur tidak bersentuhan dengan asetabulum. DDH pada akhirnya dapat berkembang menjadi reduksi permanen, dislokasi lengkap, atau dysplasia akibat perubahan adaptif yang terjadi pada jaringan dan tulang yang berdekatan.



2.5 Manifestasi klinis

• Pergerakan yang terbatas di daerah yang terkena
• Posisi tungkai yang asimetris
• Lipatan lemak yang asimetris
• Setelah bayi berumur 3 bulan : rotasi tungkai asimetris dan tungkai pada sisi yang terkena tampak memendek.
• ilangnya tonjolan tulang yang normal, misalnya trauma ekstensi dan eksorotasi pada dislokasi anterior sendi bahu.
• Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu, misalnya dislokasi posterior sendi panggul kedudukan endorotasi, fleksi dan aduksi.
• Nyeri

2.6 Pemeriksaan diagnosik
Pemeriksaan yang paling penting adalah pemeriksaan USG,pada bayi yang agak besar atau anak-anak dapat dilakukan rontgen.
1) Rontgen
Menunjukkan lokasi / luasnya fraktur / trauma
2) Scan tulang, tonogram, CT scan / MRI
Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.


2.7 Penatalaksanaan
1) Pada awal masa bayi, agar kaput femoralis tetap berada dalam kantungnya, bisa dipasang alat untuk memisahkan tungkai dan melipatnya ke arah luar (seperti kodok).
2) Jika posisi diatas sulit dipertahankan, bisa digunakan gips yang secara periodik diganti sehingga pertumbuhan tulang tidak terhambat.
3) Jika tindakan tersebut tidak berhasil atau jika dislokasi diketahui setelah anak cukup besar, maka dilakukan tindakan pembedahan.

















BAB III
ASKEP TEORITIS

3.1  PENGKAJIAN
 Pengkajian
– Pengkajian musculoskeletal
– Kaji tanda iritasi kulit
– Kaji respon anak terhadap traksi dan immobilisasi dalam balutan gips
– Pasca operasi kaji tanda vital dan drainase luka
– Kaji tingkat perkembangan anak
– Kaji kesiapan orang tua untuk merawat di rumah

3.2  DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (boedihartono,1994).

a.    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dislokasi
b.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri saat mobilisasi
c.        Gangguan bodi image berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh

3.3  RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dislokasi
Tujuan :Nyeri dapat berkurang atau hilang
 criteria hasil : Nyeri berkurang, Klien tampak tenang
• Kaji tingkat nyeri
• Beri posisi rileks
• Ajarkan tekhnik relaksasi
• Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
• Kolaborasi pemberian analgetik

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri saat mobilisasi
Tujuan :Klien dapat bergerak bebas
Kriteria hasil :Klien dapat bergerak bebas
• Kaji tingkat mobilisasi klien
• Beri latihan ROM
• anjurkan alat bantu jika dibutuhkan


3. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh
Tujuan :Masalah klien teratasi
kriteria hasil :Klien dapat menungkapkan masalahnya
• kaji konsep diri
• bantu klien mengungkapkan masalahnya
• bantu klien mengatasi masalahnya       

3.4 EVALUASI
Hasil yang diharapkan
1.      Pinggul bayi atau anak akan tetap pada posisi yang diharapkan
2.      Kulit bayi atau anak akan tetap utuh tanpa kemerahan atau kerusakan
Orang tua akan mendemonstrasikan aktivitas perawatan untuk mengakomodasi alat bantu pengoreksi bayi / anak atau gips spika pinggul.



BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
1.      CDH adalah deformitas ortopedik yang didapat sebelum atau saat kelahiran, kondisi ini mengacu pada malformasi sendi panggul selama perkembangan janin.
2.      Etiologi dari CDH yaitu 1.teratogenik; 2.gizi; 3.faktor fisik pada rahim; 4.faktor genetic dan kromosom.
3.      Pemeriksaan yang paling penting adalah pemeriksaan USG, pada bayi yang agak besar atau anak-anak dapat dilakukan rontgen,scan tulang, tomogram, CT scan/MRI.
4.      CDH  terjadi dengan kejadian 1,5 per 1000 kelahiran dan lebih umum terjadi pada anak perempuan disbanding anak laki-laki.kelainan yang sering dijumpai pada 1.anak pertama; 2.anak perempuan; 3.riwayat dislokasi pada keluarga; 4.bayi dalam letak bokong.
4.2    Saran
Agar para ibu menjaga gizi pada saat masa kehamilan .Salah satu yang paling penting untuk pertumbuhan janin adalah asam folat. Hindari factor-faktor yang dapat menyebabkan CDH misalnya sinar rontgen, radiasi, dan penggunaan obat-obatan.











DAFTAR PUSTAKA

2.      Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta EGC.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN ASMA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang sering dijumpai pada anak-anak yaitu penyakit asma. Kejadian asma meningkat di hampir seluruh dunia, baik Negara maju maupun Negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini diduga berhubungan dengan meningkatnya industri sehingga tingkat polusi cukup tinggi. Walaupun berdasarkan pengalaman klinis dan berbagai penelitian asma merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak, tetapi gambaran klinis asma pada anak sangat bervariasi, bahkan berat-ringannya serangan dan sering-jarangnya serangan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akibatnya kelainan ini kadang kala tidak terdiagnosis atau salah diagnosis sehingga menyebabkan pengobatan tidak adekuat.
Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4–5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun.
Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000 penduduk.
Kira-kira 2–20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia, namun diperkirakan berkisar antara 5–10%. Dilaporkan di beberapa negara angka kejadian asma meningkat, misalnya di Jepang. Australia dan Taiwan. Di poliklinik Subbagian Paru Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan penderita asma. Jumlah kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar antara 12.000–13.000 atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu mendapat perawatan karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di antaranya adalah pasien poliklinik paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat. 3
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuisioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuisioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma), 6,2% dari 64% diantaranya mempunyai gejala klasik. Bagian anak FKUI-RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta pusat pada 1995–1996 dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia 13–14 tahun melalui kuisioner ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%. 1
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi ATS, yaitu proyek pneumobile Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13 – 70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 % dengan rincian laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %.1
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2002). Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi. Kematian anak akibat asma jarang. Kebanyakan anak yang menderita asma dapat berinteraksi dengan lingkungannya, kecuali pada waktu kambuh. Sedikit anak yang tahan terhadap asma dan membutuhkan obat pencegah setiap harinya untuk dapat melakukan olahraga dan bermain secara normal.
Beberapa anak menderita asma sampai mereka usia dewasa; namun dapat disembuhkan. Kebanyakan anak-anak pernah menderita asma. Para Dokter tidak yakin akan hal ini, meskipun hal itu adalah teori. Lebih dari 6 % anak-anak terdiagnosa menderita asma, 75 % meningkat pada akhir-akhir ini. Meningkat tajam sampai 40 % di antara populasi anak di kota.
Karena banyaknya kasus asma yang menyerang anak terutama di Negara kita Indonesia maka kami dari kelompok mencoba membahas mengenai asma yang terjadi pada anak ini, sehingga orang tua dapat mengetahui bagaimana pencegahan dan penatalaksanaan bagi anak yang terserang asma.

B.  RUMUSAN MASALAH
a.       Apa definisi dari asma?
b.      Bagaimana anatomi asma?
c.       Bagaimana etiologi asma ?
d.      Bagaimanakah patofisiologi dari asma pada anak?
e.       Apa saja manifestasi klinis dari asma pada anak?
f.       Bagaimanakah penatalaksanaan medis dari asma pada anak ?
g.      Bagaimanakah asuhan keperawatan dari asma pada anak?

C.      TUJUAN
1.      Tujuan Umum.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita semua terutama orang tua  dan perawat dapat memahami mengenai serangan asma yang terjadi pada anak-anak dan mengetahui tatacara pelaksanaan penaganan asma yang terjadi pada anak. Selain itu juga bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok yang deiberikan oleh dosen pembimbing.

2.      Tujuan khusus
a.       Menjelaskan tentang definisi asma  
b.      Mengetahui etiologi dari asma
c.       Menjelaskan patoofisiologi dari asma pada anak
d.      Mengetahui manifestasi klinis dari asma pada anak
e.       Menjelaskan  bagaimana penatalaksanaan medis asma pada anak
f.       Menjelaskan asuhan keperawatan dari asma pada anak



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Defenisi Asma

Asma adalah kondisi berulang dimana rangsangan tertentu mencetuskan saluran pernafasan menyempit untuk sementara waktu sehingga membuat kesulitan bernafas. Meskipun asma dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering terjadi pada anak-anak, terutama sekali pada anak mulai usia 5 tahun. Beberapa anak menderita asma sampai mereka usia dewasa; namun dapat disembuhkan. Kebanyakan anak-anak pernah menderita asma. Para Dokter tidak yakin akan hal ini, meskipun hal itu adalah teori. Lebih dari 6 % anak-anak terdiagnosa menderita asma, 75 % meningkat pada akhir-akhir ini. Meningkat tajam sampai 40 % di antara populasi anak di kota.
Beberapa orang ilmuan memberikan definisi tentang asma , antara lain : Asma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996). Asma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996). Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001). Dari ketiga pendapat tersebut dapat diketahui bahwa asma adalah suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.

B.       Etiologi

Asma adalah suatu obstruktif jalan nafas yang reversibel yang disebabkan oleh :
1)    Kontraksi otot di sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas.
2)   Pembengkakan membran bronkus.
3)   Terisinya bronkus oleh mukus yang kental.


Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asthma bronkhial.
1.         Faktor predisposisi.
a.    Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahuibagaimana
 cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2.    Faktor Presipitasi (Pencetus )
1.      Alergen.
Dimana alergen dibagi menjadi tiga jenis , yaitu :
a.       Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Seperti debu, bulu binatang,   serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b.      Ingestan, yang masuk melalui mulut. Seperti makanan dan obat-obatan.
c.       Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. seperti : perhiasan, logam dan jam tangan
2.      Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.


3.      Stress.
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress atau gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

4.      Lingkungan kerja .
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti
5.      Olahraga atau aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
C.       Patofisiologi
Asma ialah penyakit paru dengan cirri khas yakni saluran napas sangat mudah bereaksi terhadap barbagai ransangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma. Kelainan yang didapatkan adalah: Otot bronkus akan mengkerut ( terjadi penyempitan) Selaput lendir bronkus udema Produksi lendir makin banyak, lengket dan kental, sehingga ketiga hal tersebut menyebabkan saluran lubang bronkus menjadi sempit dan anak akan batuk bahkan dapat sampai sesak napas. Serangan tersebut dapat hilang sendiri atau hilang dengan pertolongan obat. Pada stadium permulaan serangan terlihat mukosa pucat, terdapat edema dan sekresi bertambah. Lumen bronkus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti embuluh darah, infiltrasi sel eosinofil dalam secret didlam lumen saluran napas. Jika serangan sering terjadi dan lama atau menahun akan terlihat deskuamasi (mengelupas) epitel, penebalan membran hialin bosal, hyperplasia serat elastin, juga hyperplasia dan hipertrofi otot bronkus. Pada serangan yang berat atau pada asma yang menahun terdapat penyumbatan bronkus oleh mucus yang kental.
Pada asma yang timbul akibat reaksi imunologik, reaksi antigen – antibody menyebabkan lepasnya mediator kimia yang dapat menimbulkan kelainan patologi tadi. Mediator kimia tersebut adalah:
a.        Histamin.
- Kontraksi otot polos
- Dilatasi pembuluh kapiler dan kontraksi pembuluh vena, sehingga terjadi edema
- Bertambahnya sekresi kelenjar dimukosa bronchus, bronkhoilus, mukosaa, hidung dan mata
b.      Bradikinin.
- Kontraksi otot polos bronchus.
- Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
- Vasodepressor (penurunan tekanan darah).
- Bertambahnya sekresi kelenjar peluh dan ludah.
c.       Prostaglandin.
- bronkokostriksi (terutama prostaglandin F)


D.      Klasifikasi Asma pada anak.
Pembagian asma menurut Phelan dkk (1983) adalah sebagai berikut :
a.       Asma episodik jarang.
Golongan ini merupakan 70–75% dari populasi asma anak. Biasanya terdapat pada anak umur 3–6 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran napas atas. Banyaknya serangan 3–4 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan paling lama hanya beberapa hari saja dan jarang merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi dapat berlangsung sekitar 3–4 hari dan batuknya dapat berlangsung 10–14 hari. Waktu remisinya bermingu-minggu sampai berbulan-bulan. Manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang didapatkan. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan kelainan lain.
b.      Asma episodik sering.
Golongan ini merupakan 28% dari populasi asma anak. Pada dua pertiga golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan, serangan berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan atas. Pada umur 5–6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkannya dengan perubahan udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan stress. Banyaknya serangan 3−4 kali dalam satu tahun dan tiap kali serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan paling banyak pada umur 8−13 tahun. Pada golongan lanjut kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik atau persisten. Umumnya gejala paling buruk terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang dapat mengganggu tidur.
Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan. Jika waktu serangan lebih dari 1−2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay fever dan eksim dapat ditemukan pada golongan ini. Pada golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan.

c.         Asma kronik atau persisten.
Pada 25% anak serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75% sebelum umur 3 tahun. Pada 50% anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan pada 50% sisanya serangan episodik. Pada umur 5−6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran napas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi setiap hari. Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Obstruksi jalan napas mencapai puncaknya pada umur 8–14 tahun.
Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi  pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik dapat terjadi perubahan bentuk toraks seperti dada burung (pigeon chest), dada tong (barrel chest) dan terdapat sulkus Harrison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan, yaitu bertubuh kecil. Kemampuan aktivitas fisiknya sangat berkurang, sering tidak dapat melakukan kegiatan olahraga dan kegiatan biasa lainnya. Sebagian kecil ada juga yang mengalami gangguan psikososial.

Disamping tiga golongan besar tersebut diatas terdapat bentuk asma yang tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalamnya.
a.       Asma episodik berat atau berulang.

Dapat terjadi pada semua umur, biasanya pada anak kecil dan umur prasekolah. Serangan biasanya berat dan sering memerlukan perawatan di rumah sakit. Biasanya berhubungan dengan infeksi saluran napas. Di luar serangan biasanya normal dan tanda-tanda alergi tidak menonjol. Serangan biasanya hilang pada umur 5−6 tahun. Tidak terdapat obstruksi saluran napas yang persisten.


b.      Asma persiten.

Mengi yang persisten dengan takipnea untuk beberapa hari atau beberapa minggu. Keadaan mengi yang persisten ini kemungkinan besar berhubungan dengan kecilnya saluran napas pada anak golongan umur ini. Terjadi pada beberapa anak umur 3−12 bulan. Mengi biasanya terdengar jelas jika anak sedang aktif. Keadaan umum anak dan tumbuh kembang biasanya tetap baik, bahkan beberapa anak menjadi gemuk sehingga ada istilah “fat happy wheezer”. Gambaran rontgen paru biasanya normal. Gejala obstruksi saluran napas disebabkan oleh edema mukosa dan hipersekresi  daripada spasme otot bronkusnya.

c.       Hipersekresi .

Biasanya terdapat pada anak kecil dan permulaan umur sekolah. Gambaran utama serangan adalah batuk, suara napas berderak dan mengi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi basah kasar dab ronkhi kering.

d.      Asma karena beban fisik.

Serangan asma setelah melakukan kegiatan fisik sering dijumpai pada asma episodik sering dan pada asma kronik persisten. Disamping itu terdapat golongan asma yang manifestasi klinisnya baru timbul setelah ada beban fisik yang bertambah. Biasanya pada anak besar dan akil baliq.

e.       Asma dengan alergen atau sensitivitas spesifik.

Pada kebanyakan asma anak, biasanya terdapat banyak faktor yang dapat mencetuskan serangan asma, tetapi pada anak yang serangan asmanya baru timbul segera setelah terkena alergen, misalnya bulu binatang, minum aspirin, zat warna tartrazine, makan makanan atau minum minuman yang mengandung zat pengawet..


f.       Batuk malam.

Banyak terdapat pada semua golongan asma. Batuk terjadi karena inflamasi mukosa, edema dan produksi mukus yang banyak. Bila gejala menginya tidak jelas sering salah didiagnosis, yaitu pada golongan asma anak yang berumur 2−6 tahun dengan gejala utama serangan batuk malam yang keras dan kering. Batuk biasanya terjadi pada jam 1−4 pagi. Pada golongan ini sering didapatkan tanda adanya alergi pada anak dan keluarganya.

g.      Asma yang memburuk pada pagi hari.
Golongan yang gejalanya paling buruk jam 1−4 pagi. Keadaan demikian dapat terjadi secara teratur atau intermitten. Keadaan ini diduga berhubungan dengan irama diurnal caliber saluran napas, yang pada golongan ini sangat menonjol.


E.     Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinik pada pasien asthma adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
1. Tingkat I :
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru. Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di laboratorium.

2. Tingkat II :
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.

3. Tingkat III :
Tanpa keluhan.Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV :
Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5. Tingkat V :
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai. Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih, takikardi.


F.      Penatalaksanaan Medis
Prinsip umum dalam pengobatan pada asma bronhiale :
a. Menghilangkan obstruksi jalan nafas
b. Mengenal dan menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan asma.
c. Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara pengobatan maupun penjelasan penyakit.

Penatalaksanaan asma dapat dibagi atas :
a. Pengobatan dengan obat-obatan
Seperti :
1) Beta agonist (beta adrenergik agent)
2) Methylxanlines (enphy bronkodilator)
3) Anti kolinergik (bronkodilator)
4) Kortikosteroid
5) Mast cell inhibitor (lewat inhalasi)

b. Tindakan yang spesifik tergantung dari penyakitnya, misalnya :
1) Oksigen 4-6 liter/menit.
2) Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi nabulezer dan pemberiannya dapat di ulang setiap 30 menit-1 jam. Pemberian agonis B2 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dextrose 5% diberikan perlahan.
3) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam.
4) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg itu jika tidak ada respon segera atau klien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.


G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah mengancam pada gangguan keseimbanga asam basa dan gagal nafas, pneumonia, bronkhiolitis, chronic persistent bronchitis, emphysema.

BAB III
ASKEP TEORITIS

A. Pengkajian
a. Identitas klien
1.    Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin
2.    Riwayat kesehatan sekarang : keluhan sesak napas, keringat dingin.
3.    Riwayat kesehatan keluarga.
4.    Kaji Status mental : lemas, takut, gelisah
5.    Faktor pencetus ; stress, latihan, kebiasaan dan rutinitas, perawatan sebelumnya.
6.    Kaji pengetahua anak dan orang tua tentang penyakit dan pengobatan
7.    Pernapasan : perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.penggunaan otot asesori pernafasan, cuping hidung,
8.    Gastro intestinal : adanya mual, muntah.
9.    Pola aktivitas : kelemahan tubuh, cepat lelah

b. Pemeriksaan fisik
Dada
 Insfeksi:  Contour, Confek, tidak ada defresi sternum, Diameter antero posterior lebih besar dari diameter transversal, Keabnormalan struktur Thorax, Contour dada simetris, Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna merata,  RR dan ritme selama satu menit.
Palpasi : Temperatur kulit, Premitus : fibrasi dada, Pengembangan dada, Krepitasi, Massa, Edema
Auskultasi : Vesikuler, Broncho vesikuler, Hyper ventilasi, Rochi, Wheezing, Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.

c. Pemeriksaan penunjang
 Spirometri : Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. Tes provokasi : Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus. Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri. Tes provokasi bronchial, Untuk menunjang adanya hiperaktivitas bronkus , test provokasi dilakukan bila tidak dilakukan test spirometri. Test provokasi bronchial seperti : Test provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin dan inhalasi dengan aqua destilata.
 Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik dalam tubuh. Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum. Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal. Analisa gas darah dilakukan pada asma berat. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.dan Pemeriksaan sputum.

B.  Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 :
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.

Tujuan :
Jalan nafas kembali efektif.

Kriteria hasil :
Sesak berkurang, batuk berkurang, klien dapat mengeluarkan sputum, wheezing berkurang/hilang, vital dalam batas normal keadaan umum baik.


Intervensi :
a.       Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya : wheezing, ronkhi.
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
b.       Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional : Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan selama strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi
c.       Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala tidak duduk pada sandaran.
Rasional : Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
d.      Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk keefektipan memperbaiki upaya batuk.
                  Rasional : batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia,
                  Sakit akut/kelemahan.
e.       Berikan air hangat
                  Rasional : penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
            f.   Kolaborasi obat sesuai indikasi
                  Bronkodilator spiriva 1×1 (inhalasi).
                  Rasional : Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.

Diagnosa 2 :
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.

Tujuan :
Pola nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :
Pola nafas efektif, bunyi nafas normal atau bersih, TTV dalam batas normal, batuk berkurang, ekspansi paru mengembang.


Intervensi :

1.      Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada

2.     Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti krekels, wheezing.
Rasional : ronki dan wheezing menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.
3.     Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.

4.     Observasi pola batuk dan karakter sekret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
5.     Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
Rasional : dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.
6.     Kolaborasi : Berikan oksigen tambahan, Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer
Rasional : memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.

Diagnosa 3 :
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.

Tujuan :
Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.

Kriteria hasil :
Keadaan umum baik, mukosa bibir lembab, nafsu makan baik, tekstur kulit baik, klien menghabiskan porsi makan yang disediakan, bising usus 6-12 kali/menit, berat badan dalam batas normal.

Intervensi :
1)      Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
Rasional : menentukan dan membantu dalam intervensi selanjutnya.

2)      Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Rasional : peningkatan pengetahuan klien dapat menaikan partisipasi bagi klien dalam asuhan keperawatan
3)      Timbang berat badan dan tinggi badan.
Rasional : Penurunan berat badan yang signifikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.

4)      Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
Rasional : air hangat dapat mengurangi mual.
5)      Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
6)      Kolaborasi :Konsul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
Rasional : menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
- Berikan obat sesuai indikasi.
- Vitamin B squrb 2×1.
Rasional : defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
- Antiemetik rantis 2×1
Rasional : untuk menghilangkan mual / muntah.


Diagnosa 4 :

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

Tujuan :
Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

Kriteria hasil :
KU klien baik, badan tidak lemas, klien dapat beraktivitas secara mandiri, kekuatan otot terasa pada skala sedang

Intervensi :
       I.            Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dyspnea peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
Rasional : menetapkan kebutuhan/kemampuan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
    II.             Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.

 III.            Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan atau tidur.
Rasional : pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi atau menunduk kedepan meja atau bantal.
 IV.            Bantu aktivitas keperawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.
Rasional :meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen
    V.            Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan stress dan rangsangan berlebihan meningkatkan istirahat.

Diagnosa 5 :
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan :
Pengetahuan klien tentang proses penyakit menjadi bertambah.

Kriteria hasil :
Mencari tentang proses penyakit :
- Klien mengerti tentang definisi asma
- Klien mengerti tentang penyebab dan pencegahan dari asma
- Klien mengerti komplikasi dari asma


Intervensi :
a)      Diskusikan aspek ketidak nyamanan dari penyakit, lamanya penyembuhan, dan harapan kesembuhan.
Rasional : informasi dapat manaikkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah berlebihan.
b)      Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
Rasional : kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mangasimilasi informasi atau mengikuti program medik.
c)      Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif atau latihan pernafasan.
Rasional : selama awal 6-8 minggu setelah pulang, pasien beresiko besar untuk kambuh dari penyakitnya.
d)     Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan kesehatan.
Rasional : upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah meminimalkan komplikasi.
e)      Buat langkah untuk meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan, misalnya : istirahat dan aktivitas seimbang, diet baik.
Rasional : menaikan pertahanan alamiah atau imunitas, membatasi terpajan pada patogen.

C. Evaluasi
a. Jalan nafas kembali efektif.
b. Pola nafas kembali efektif.
c. Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
d. Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.